ANCAMAN POTENSI KONFLIK
DALAM PILKADA SERENTAK
Oleh;Iwan Marwan
Konflik lahir akibat
benturan kepentingan diantara individu, dan kelompong yang masing-masing
mempunyai hak untuk makan dan mempertahankan hidup. Konflik biasanya bukan
lahir atau terjadi begitu saja tampa ada sebab musabah. Namun berbicara konflik
politik yang sering kita saksikan bersama disetiap pesta demokrasi politik,
terkadang konflik politik itu muncul akibat konspirasi dan setingan aktor
politik yang memiliki kepentingan untuk memecah kantong-kantong basis kandidat
atau ancaman kekalahan yang dialami setiap kandidat dalam pertarungan kekuasan
didaerah. Itu artinya rakyat merupakan objek konflik politik sehingga yang
harus kita lakukan sebagai cendekia kampus sebagai hal yang urgen adalah melakukan
penyadaran dan mengawal masrakat yang notabennya masih terkategori pada prilaku
pemilih irasional.
Kiranya, potensi
konflik pada pilkada serentak sangat jauh bagi daerah yang jauh dari dinamika
politik identitas yang kuat dan prilaku pemilih yang cerdas. Maka, yang menjadi
asumsi dasar saya saat ini adalah rawan konflik hanya akan terjadi disetiap
daerah yang kuat politik identitasnya dan prilaku pemilih yang tidak rasional
dalam menentukan setiap pemimpin yang tidak berdasarkan informasi dan
sumberdaya manusia yang kuat juga masalah serius yang perlu dijadikan sebagai
pegangan konflik politik yang sering terjadi, hal ini di lihat dari study kasus
pada konflik yang terjadi pada pemilihan gubernur Prov. Maluku Utara di tahun
2007 silam yang telah memberikan dampak isu nasional dan sala satu sengketa
pilkada terlama didunia.
Hal diatas adalah
catatan demokrasi politik yang buruk akibat dari pada politik identitas,
mengapa demikian? Kita harus menggaris bawahi Konflik antara pendukung Taib
Armain dan Abdul Gafur sebagai konflik
identitas etnik untuk mempertahankan harga diri masing-masing suku yang ada di
Prov. Maluku Utara. Sekalipun konflik tersebut dipicuh oleh kecurangan
penyelenggara namun itu hanya menjadi alasan yang tidak begitu spesifik karna
ketika konflik berlangsung, seluruh etnik makian yang berada di seluruh pelosok
di mobilisasi ke lapangan sengketa yang di istilahkan oleh masrakat ternate
sebagai jalur gaza. Itu artinya bahwa yang muncul adalah identitas etnik bukan
sekedar ketimpangan yang terjadi pada meja KPU semata. Dengan minimnya
pendidikan dan sosialisasi politik pada tingkatan masrakat yang melek huruf dalam
istilah politik, dapat berpengaruh terhadap pola pemikiran masrakat untuk
berpartisipasi dalam agenda demokrasi politik dengan benar berdasarkan aturan
yang menjadi sandaran kita demi terciptanya demokrasi delibery yang tidak
melahirkan sengketa.
Saya mengutip perkataan
Syafi Ma’arif Pada sala satu kuliah umum dengan tema demokrasi pemilukada pada
tahun 2013, beliau mengatakan bahwa, demokrasi kita adalah demokrasi budaya
bukan demokrasi peradaban, karna kita berdemokrasi tampa di dukung oleh sumber
daya manusia. Akibatnya memicu berbagai konflik ketika demokrasi pemilukada itu
berlangsung, karna pengetahuan tentang politik 0,1% sehingga para tim-tim
kampanye melakukan sofistikasi politik yang pada ahirnya menjadi benih konflik
pemilukada berlangsung.
Peran politik identitas
yang hanya merepresentasikan minoritas etnik tertentu akan berakibat pada
pembangunan yang tidak merata pula, hal ini akan mengakibatkan kecemburuan
sosial pada etnik tertentu yang kuat sehingga akan menjadi benih pemicu konflik
pemilukada. Karna yang di pertahankan adalah harga diri etnik tertentu dan
nantinya dalam proses pemberdayaan generasi, etnik yang berkuasa sangat mengutamakan generasinya di banding
etnik yang lain.
Kondisi politik
identitas yang kemudian berlangsung dalam kurun waktu 2 periode yang di
nahkodai oleh Hj.Taib Armain di Prov. Maluku Utara ini kemudian bisa dikatakan
sebagai representasi dari etnik makian akibat dari tiap-tiap kepala dinas
diberbagai instansi birokrasi pemerintahan adalah berasal dari etnik makian.
Hal ini kemudian di lanjutkan oleh etnik Togale ketika kemenanganya Ky Gani
Kasuba sebagai gubernur Prov. Maluku Utara.
Untuk bagaimana
memainkan politik etnik yang rasional, butuh pendidikan politik yang bukan
sekedar menjemput momentum untuk kita berkomunikasi politik demi kepentingan
minoritas yang bukan representatif dari masrakat maluku utara. Bibit-bibit yang
kemudian di lahirkan oleh UMMU ternate, UNKHAIR ternate, STKIEP ternate, IAIN
ternate dll.. tak mampu di tanam akibat dari pada dampak politik etnik yang
tidak didukung dengan intelektual yang semestinya menjadi landasan dan pola
pikir masrakat dalam berpartisipasi ketika pesta demokrasi akan berlangsung
sesuai waktu yang ditentukan oleh penyelenggara.
dan pula perlu peningkatan sumberdaya manusia untuk berdemokrasi sebagai mana kata shafi ma'arif.