Sejara
Hukum Indonesia
Hukum
di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum
adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis
pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu
Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie).
Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka
dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan,
kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang
merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara. Ada pun hukum yang di maksut
yaitu;
·
Hukum Eropa Kontinental
Hukum
sipil (civil law) atau yang biasa dikenal dengan Romano-Germanic Legal
System adalah sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa. Titik tekan
pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya
tertulis. Sistem hukum ini berkembang di daratan Eropa sehingga dikenal juga
dengan sistem Eropa Kontinental. Kemudian disebarkan negara-negara Eropa
Daratan kepada daerah-daerah jajahannya.
Dikatakan hukum Romawi karena sistem
hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada
masa Pemerintahan Kaisar Yustinianus abad 5 (527-565 M). Kodifikasi hukum itu
merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustinianus
yang disebut Corpus Juris Civilis (hukum yg terkodifikasi). Corpus Juris
Civilis dijadikan prinsip dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum di
negara-negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika
Latin, Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda). Artinya adalah
menurut sistem ini setiap hukum harus dikodifikasikan sebagai dasar berlakunya
hukum dalam suatu negara. Negara negara penganut sistem hukum ini antara lain
negara negara Perancis, Jerman, Belanda dan bekas jajahan Belanda antara lain
Indonesia, Jepang dan Thailand.
·
Hukum
Anglo Sixon
David
dan Brierly (dalam Soerjono Soekanto, 1986 : 302) membuat periodisasi
Common Law ke dalam tahapan sebagai berikut: 1.Sebelum Penaklukan Norman
di tahun 1066; 2.Periode kedua membentang dari 1066 sampai ke
penggabungan Tudors (1485). Pada periode ini berlangsunglah
pembentukan Common Law, yaitu penerapan sistem hukum tersebut secara luas
dengan menyisihkan kaidah-kaidah lokal;
3. Dari tahun 1485 sampai
1832. Pada periode ini berkembanglah suatu sistem kaidah lain yang disebut
“kaidah equity”. Sistem kaidah ini berkembang di samping Common Law dengan
fungsi melengkapi dan pada waktu-waktu tertentu juga menyaingi Common Law.
4. Dari tahun 1832
sampai sekarang. Ini merupakan periode modern bagi Common Law. Pada periode ini
ia mengalami perkembangan dalam penggunaan hukum yang dibuat atau
perundang-undangan. Ia tidak bisa lagi hanya mengandalkan pada perkembangan
yang tradisional. Untuk menghadapi kehidupan modern, Common Law semakin
menerima campur tangan pemerintah dan badan-badan administrasi.
Common law, berbeda dengan kebiasaan
yang berlaku lokal, adalah hukum yang berlaku untuk dan di seluruh Inggris.
Tetapi keadaan atau deskripsi yang demikian itu belum terjadi pada tahun 1066,
seperti dapat dilihat pada periodisasi di muka. “The assemblies of free men”
yang disebut Country of Hendred Courts hanya menerapkan kebiasaan-kebiasaan
lokal. Pembinaan suatu hukum yang berlaku untuk seluruh negeri merupakan karya
yang semata-mata dilakukan oleh the royal courts of justice, biasanya disebut
The Courts of Westminster. Nama ini dipakai sesuai dengan tempat mereka bersidang
sejak abad ketiga belas.
·
Hukum
Adat
Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan
yang berlaku di suatu wilayah. misalnya di perkampungan pedesaan terpencil yang
masih mengikuti hukum adat. dan memiliki sanksi sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku di wilayah tertentu.
Hukum
adat pada umumnya belum/tidak tertulis dalam lembaran-lembaran hukum. Oleh
karena itu para ahli hukum mengatakan “memang hukum keseluruhannya di Indonesia
ini tidak teratur, tidak semurna, tidak tegas. Oleh orang asing hukum
adat dianggap sebagai peraturan-peraturan “ajaib” yang sebagian simpang
siur. Karena sulit dimengerti. Contohnya perbandingan devenisi dari dua
ilmuan dibawa ini.
Menurut
[[Kamus Besar Bahasa Indonesia]], adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim
diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi
kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma,
hukum, dan aturan yg satu dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena
istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka
istilah hukum adat dapat disamakan dengan [[hukum kebiasaan]].H. Noor Ipansyah
Jastan, S.H. dan Indah Ramadhansyah. ''Hukum Adat''.
Namun
menurut [Van Dijk], kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai [hukum
kebiasaan]. Menurutnya [hukum kebiasaan] adalah kompleks peraturan hukum
yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya orang bisa bertingkah
laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang diterima
dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi, menurut [Van Dijk], hukum adat dan [hukum kebiasaan] itu memiliki perbedaan. Dibawah ini akan di
cantumkan hukum adat individu mahasiswa
Hukum Adat Suku Makian
Berbicara dalam perspektif hukum adat
istiadat suku makian , pada dewasa ini kita tak dapat pungkiri bahwa mungkin suda tak ada lagi data
otentik untuk menjelaskan begitu mendasar untuk dijadikan bahan acuan pada zaman
AUFKLARUM pada abad ke 21 ini, dan hal
ini dikarnakan dinamika masrakat yang
telah mengkonsumsi arus transformasi
global secara mentah-mentah tampa memfilter
diberbagai aspek. sehingga ,jika yang dulu nya terjadi masaalah maka- akan di selesaikan
secara hukum adat yang berlaku .namun karna dinamika perubahan zaman sehingga
pranata atau hukum adat yang berlaku dipengaruhi di setiap aspek dan hukum adat maupun budaya suku makian itu
sendiri mulai pudar laksamana perjalanan gelombang yang timbul dan berkembang
lantas lenyap, namun nya itu dalam hukum adat istiadat suku makian di seni saya
akan menyentil sala satu hukum adat suku makian.
Masrakat makian dalam perspektif pembagian
warisan tidak terkerucut kepada hukum Negara yang kemudian menuntut setiap
warga masrakat untuk mentaatinya namun
dari pada itu, hukum adat juga merupakan hukum yang di akui dalam Negara NKRI
ini, sehingga yang di praktekkan adalah hukum yang tidah tertulis dalam hal ini
adalah hukum adat. Adapun hukum adat yang di maksut adalah;
hukum
pembagian harta warisan
dalam pembagian warisan yang suda
menjadi hukum yang di praktekan di tengah-tengah masrakat yang masi bisa di
kutip hanya lah pembagian harta warisan, adapun dalam hukum ini ada beberapa
cara pembagian harta warisan dalam hukum adat suku makian dalam yaitu;
·
Jika dalam keluarga
terdapat lima (5) anak dan diantara kelima anak itu dianata mereka hanya
terdapat seorang pria maka dia mendapatkan 50% dari seluru harta dan begitu juga
wanita.
·
Jika harta yang
kemudian ingin di wariskan ke pada kelima anak di atas suda mendapatkan
bagiannya kemudian ada satu kebun yang tersisah maka
kebun
itu di miliki bersama.
Hukum ini lah yang di praktekkan dalam
pembagian warisan selama ini yang berlaku dari moyang kami sampai pada abad 21
desawa ini.
Hukum
perkawinan
Dalam
perkawinan suku makian adapun hukum yang berlaku yaitu;
·
Ketika Calon pengantin
pria mendatangi calon pengantin wanita dalam prosesi pernikahan berlangsung
pihak keluarga harus membayar kamar pengantin wanita.
·
Istri ikut suami untuk
menetap di rumah orang tua suami.
Tak
dapat dipungkiri bahwa praktek hukum adat suku makian suda mulai hilang sejau
ini karna persoalan jaman yang mempengaruhi itu sehingga dalam kesempatan ini kita
tida bisa memberikan penjelasan yang mendasar, untuk itu lebih dan kurang mohon
di maklumi.
·
Hukum
Islam
Sejak
masuknya Islam ke wilayah nusantara hingga masa reformasi sekarang ini, hukum
Islam mampu bertahan dan mewarnai sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan corak dan karakteristiknya, sejarah perkembangan hukum Islam di
Indonesia dapat dibagi dalam empat periode, yaitu :periode akulturasi, represi
dan eliminasi, formatisasi, serta aktualisasi.
1.
Fase Akulturasi (Abad XII – XVIII M)
Fase ini
terjadi sejak masa penetrasi atau masuknya Islam ke Indonesia hingga masa
kolonialisasi Belanda. Berdasarkan data sejarah, Islam mulai menampakkan
pengaruhnya sekitar Abad XII hingga XIII M. -Disebut fase akulturasi karena
pada masa ini hukum Islam mengalami adaptasi dengan budaya lokal nusantara.
Secara sosio-kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi living law dalam
masyarakat muslim Indonesia.
2.
Fase Represi dan Eliminasi (Abad
XVIII-pertengahan Abad XX)
Fase ini
berlangsung sejak Belanda secara de facto menancapkan kolonialismenya di
Indonesia, yaitu sekitar abad ke XIX M hingga pertengahan abad XX, yaitu ketika
Indonesia memperoleh kemerdekaannya.
3.
Fase Formatisasi (1945 – 1998)
Berakhirnya kolonialisme di Indonesia sekaligus juga
mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam.
Kedudukan hukum Islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang berarti.
Namun hal itu tidak berarti bahwa hukum Islam kembali pada kondisi reception in
complexu. Lamanya Belanda menjajah mengakibatkan perubahan struktur politik dan
sosial bangsa Indonesia.
4.
Fase Aktualisasi (1998 – sekarang)
Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun
1998), keinginan mempositifkan hukum Islam semakin kuat. Pada awalnya
muncul pemikiran untuk menghidupkan lagi Piagam Jakarta. Hal ini didasarkan
kenyataan bahwa umat Islam adalah mayoritas di Indonesia, sehingga wajar jika
hukum agamanya diberlakukan.
Perkembangan
hukum Islam di Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan
umat Islam sendiri serta kebijakan pemerintah yang berkuasa. Ketika kedua
hal tersebut bergayut, maka pemberlakuan hukum Islam menjadi mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar