Kamis, 14 Mei 2015

Refleksi Konflik KPK dan POLRI



Refleksi Konflik KPK Vs POLRI
Oleh: Iwan Marwan
Konsep Trias Politica yang di tawarkan oleh Monthesqy dan VanVolenhoven tentang pembagian kekuasan dalam Negara kemudian di anut oleh Negara Bangsa Indonesia yakni Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Diantara lembaga ini dalam logika system politik Indonesia di sebut dengan supra struktur politik.
Diantara lembaga ini kemudian memiliki masing-masing tugas, dan tanggung jawap yang otonom, misalkan; legislative yang bertugas membuat regulasi dan mengawal jalannya roda pemerintahan, Eksekutif yang menangani persoalan pemerintahan, dan Yudikatif sebagai lembaga peradilaan memiliki tugas untuk mengadili para aktof-aktor yang melanggar hukum. Pada ahir abad ke 21 ini, secara akselerasi Negara Indonesia kemudian masih terbelakan dengan segala pelayanan pablik dan melahirkan berbagai problem social yang jauh tertinggal dari harapan rakyat. Namun perhatian Negara pada saat ini adalah tindak pidana korupsi yang menempatkan Negara Indonesia sebagai Negara terkorup di dunia.
Sehingga yang menjadi perhatian kita adalah lembaga yudikatif yaitu kejagung dan Polri yang selama ini tidak mampu menuntaskan berbagai kasus korupsi yang semakin meningkat dan membiarkan para actor busuk berjiwa predator hidup bebas di Negara hukum ini. Upaya baru oleh Negara adalah membentuk lembaga baru dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna menuntaskan segala bentuk persoalan raya hari ini yang mencekam. terkadang lembaga Negara yang baru yang di bentuk untuk mengatasi berbagai problematika Negara yang tak terselesaikan dan tertumpuk saat ini, juga takseefektif apa yang kemudian menjadi harapan kita bersama.
Untuk itu sinergitas beberapa lembaga ini kemudian sangat di butuhkan, namun klaim mengklaim memperkecil dan mempersempit tugas dan wewenang masing-masing lembaga ini kemudian sering menimbulkan ketersinggungan yang sengit, hal ini juga akibat tumbang tindihnya regulasi yang kemudian mengatur wilayah kerja sehingga ruang ketersinggungan membuat konflik yang tak terelakan. bukan saja factor wewenang dan tugas yang menjadi objek pokok akan tetapi konstalasi politik juga menentukan hal ini karna kewenangan menetapkan siapa yang menjadi KAPOLRI dan KPK ada di tangan Presiden. Itu artinya partai koalisi juga akan mengambil peran.
Untuk bagaimana kita menganalisis konflik POLRI dan KPK dalam perspektik Sosial dan Hukum, suda menjadi barang tentu kita harus mendudukan kapasitas dua lembaga Negara ini secara historis dan yuridis, agar kita dapat menganilisis tepat pada objek masalah yang aksioma. tampa menganulir panjang lebar persoalan yang bisah di katakana bahwa apakah benar ini murni ketersinggungan ruang kerja atau kah persoalan etika pejabat Polri dan KPK yang memang menuai tanda tanya pablik, atau pula persoalan dinamika politik yang berdasarkan hemat saya bahwa konflik POLRI dan KPK merupakan isolasi politik yang di lakukan oleh Presiden Jokowi guna membunuh isu-isu  tentang Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat agar polemic ini kemudian tidak menjadi perpecahan perpanjangan dan terselubung di tengah-tengah Rakyat Indonesia.
Sebagai sosok pemimpin yang di anggap bijak dan sederhana dan merakyat untuk memimpin republik ini kemudian mendapatkan berbagai ujian saat ini. Sebagai seorang Presiden Joko Widodo dalam menahkodai Negara bangsa yang mengarungi lautan ranjau barat yang penuh dengan hutang luar negri saat ini merupakan tugas yang berat. Akan tetapi, yang muncul di tengah-tengah social saat ini adalah spekulasi sebuah kegagalan dan kebijakan yang lambat yang di lakukan oleh seorang Presiden. Padahal sebagai seorang ayah yang melihat dua anak yang bertengkar tidak mungkin dia mengambil langkah yang melahirkan ketersinggungan. Namun ketika praperadilan yang kemudian di lakukan oleh Budi Gunawan di terima oleh MK, kiranya presiden Jokowi akan melanting BG tapi malah mengusulkan kembali Komjen Bahrudin Haiti Tampa memperdulikan tekanan-tekanan dari DPR sehinga banyak menuai kotrofersi.
Persoalan pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai KAPOLRI terabaikan akibat BG ditahan oleh KPK bukan sekedar persoalan konstalasi politik antara KMP dan KIH yang berbenturan akan tetapi murni kasus Korupsi dan itu harus di  lakukan oleh KPK sebagai lembaga yang khusus pada wilayah korupsi. Terlepas dari tindakan KPK yang telah di anggap mencitrai sebuah Organisasi POLRI yang selama ini di junjung tinggi oleh masrakat. Institusi POLRI kemudian melakukan serangan balik lewat KAPOLDA Makassar ketika menjadikan ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka dengan tuduhan pemalsuan dokumen yang di anggap sebagai tindakan pembalasan yang kemudian di lakukan oleh POLRI.
A.  Dari Perspektif Sosial
Negara Indonesia merupakan sebuah Negara besar dan bet-tuhan, namun realitas social kemudian menceritakan dan memberitahukan kepada kita berbagai problem social  yang sampai saat ini kemudian masih menjadi PR buat pemerintah dan khususnya POLRI yang memiliki tugas khusus sebagaimana tertuang di dalam pasal 33 UUD, 1945. Untuk melindungi segenap rakyat bangsa Indonesia dan menjadi keresahan buat Rakyat di Negara Bangsa Indonesia ini. Dengan maraknya berbagai Kasus criminal dan Korupsi yang telah melibatkan sejuta predator buas yaitu para petinggi elit politik kita di birokrasi dan pemerintah. Persoalan ini merupakan tugasPOLRI-KPK sebagaiman lembaga yang tugas pokoknya menyangkut dengan kasus kriminalitas dan korupsi tersebut. Pemerintah juga bingung dalam menangani berbagai penyakit social saat ini, Sebagai bentuk pelayanan POLRI dan KPK terhadap  Rakyat suda semestinya ketegasan dan profesionalisme sangat di butuhkan untuk memberantas penyakit social yan selalu menjangkit dan meresahkan itu.
Akan tetapi, kita lihat sendiri bahwa POLRI yang sebagai lembaga pengayom, pengamanan dan menjadi wadah buat Rakyat berdasarkan pasal 33. UUD 1 juni 1945 dan dalam Kode Etik Kepolisian kemudian di jelaskan didalam TRISEWAKOTAMA terkesan tumpang tindih dan tidak sesuaidengan kondisi realitas kekinian. Namun lagi-lagi hasil yang di inginkan oleh rakyat tidak sesuai dengan tuntutan Konstitusi rakyat itu akibat dari pada ketidak loyalitasnya dalam pengabdianya. Sedangkan KPK yang dibentuk untuk menjawap persoalan korupsi yang semakit meningkat juga tidak membuahkan hasil dan bahkan komisioner KPK di kriminalkan  oleh pihak-pihak tertentu. Dan lemahnya penetrasi kedua lembaga hukum ini juga  akibat rivalitas KPK-POLRI terekam kuat saat KPKdi jalankan di tahun 2005.
Dalam sepekan terahir, persoalan kelembagaan KPK –POLRI ini menyedot perhatian seluruh pablik.dalam perspektif pablik, ketegangan hubungan KPK-POLRI tidak terlepas dari rivalitas parpol atau pun kepentingan-kepentingan politik lainya. Itu terindikasih dari keteguhan dukungan dari partai pendukung pemerintah terhadap pengajuan calon Kapolri komjen Bdi Gunawan. Di sisi lain, permainan politik di DPR dengan hampir semuah fraksi meluluskan uji kelayakan dan kepatutan terhadap BudiGunawan menggambarkan situasi yang tak koheren dengan pembelahan politik dalam kubu KIH dan KMP.
Maneuver politik dalam persoalan hukum ini menjadi keprihatinan pablik. Semestinya sinergisitas ke dua lembaga ini sebagai pilar penegakan hukum di Indonesia. Bukan malah bersiteru dan saling menjegal. Proses hukum pemberantasan korupsi dimanfaatkan sebagai alat kepentingan politik. Selain itu, persiteruan ini merongrong legitimasi kedua lembaga, baik melemahan KPK atau merusak wibawah POLRI. Mayoritas rakyat menganggap  kondisi ini kontraproduktifitas terhadap penegakan hukum, terutama upaya pemberantasan korupsi yang sampai saat ini belum banyak membuahkan hasil dan memuaskan dahaga tuntutan rakyat. Karna perseteruan yang tidak bermanfaat di mata rakyat Indonesia.
Menilik ke belakang KPK, selama ini cenderung memiliki citra yang jauh lebih positif dari pada POLRI sekalipun ada beberapa pimpinan KPK di periode sebelum Abraham Samat telah di kriminalisasi dan di periode kali ini juga 2 komisioner KPK di kriminalisasi pula. Dibandingkan dengan citra POLRI yang tidak lebih positif dari KPK. Ketika Kapolda Makassar mengumumkan Abraham Samat sebagai tersangka pemalsuan dokumen. Hal ini kemudian menjadi anggapan bahwa upaya pelemahan terhadap citra KPK selalu berujung pada penguatan citra KPK di mata public. Mengapa demikian, karna rekam jejak KPK dua tahun terahir ini yang selalu mendapat dukungan social diatas level 75%  responden, sedangkan POLRI hanya mendapatkan 30,2% responden akibat citra dan provesionalisme yang tidak baik.
Lihat saja ketika AS dan BW di tetapkan sebagai tersangka, muncul dukungan aksi dari berbagai kalangan akademisi, mahasiswa dan rakyat. Itu artinya bahwa rakyat lebih memili KPK di bandingkan  dengan POLRI, dalam teori semiotika dan semiologi, dukungan Rakyat lewat aksi merupakan tanda bahwa institusi POLRI tidak lagi menjadi idola Rakyat saat ini karna persoalan masa lalu polri. Paradikma masrakat terkait dengan Kriminalisasi POLRI terhadap KPK adalah bagian untuk menghalangi cita-cita rakyat dan mendukung actor-aktor koruptor di bangsa ini.
Sebenarnya rakyat Indonesia tidak menginginkan perseteruan diantara kedua lembaga penting milik Negara demokrasi hukum ini, apalagi dengan kondisi virus korupsi yang sangat ini menyerang para pelayan Rakyat sehingga menyebabkan kerugikan buat Rakyat selama ini. Akibat dari virus korupsi membuat rakyat sangat menderita. Untuk itu, sinergisitas adalah bagian yang menjadi dambaan rakyat untuk bagaimana menyelesaikan berbagai tindak pidana korupsi yang melibatkan para pelayan Rakyat di bawa bingkai Negara bangsa ini. Mengapa sehingga rakyat bersifat apatis dan malah tidak saling bahu membahu untuk membangun Indonesia lebih baik di mata dunia, akibat konstruksi kepentingan politik yang melahirkan virus korupsi itu sendiri di tubuh Birokrasi dan Pemerintah sehingga rakyat tidak lagi mempercayai segala bentuk lain yang menyangkut dengan Pemerintah.
B.  Dari Perspektif Hukum
Konsep Trias Politica yang di tawarkan oleh Monthesqy dan VanVolenhoven tentang pembagian kekuasan dalam Negara kemudian di anut oleh Negara Bangsa Indonesia sebagai Negara hukum. Diantara lembaga ini dalam logika system politik Indonesia di sebut dengan supra struktur politik yang meliputi Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Diantara ketiga lembaga ini kemudian memiliki masing-masing tugas dan tanggung jawap yang otonom, misalkan; legislative yang bertugas membuat regulasi dan mengawal jalannya roda pemerintahan, Eksekutif yang menangani persoalan pemerintahan, dan Yudikatif sebagai lembaga peradilaan memiliki tugas untuk mengadili para aktof-aktor yang melanggar hukum. Pada ahir abad ke 21 ini, secara akselerasi Negara Indonesia kemudian masih terbelakan dengan segala pelayanan pablik dan berbagai problem social yang jauh tertinggal dari harapan rakyat. Namun perhatian Negara pada saat ini adalah berbagai tindak pidana korupsi yang menempatkan Negara Indonesia sebagai Negara terkorup di dunia.
Korupsi bagaikan virus yang merupakan penyakit didalam tubuh Birokrasi Pemerinthan, Untuk mengatasi persoalan itu sehingga Negara kemudian menginginkan actor –aktor hukum yang Profesional didalam tubuh lembaga yudikatif yaitu Kejagung dan Polri yang selama ini tidak mampu menuntaskan berbagai kasus korupsi yang semakin meningkat dan membiarkan para actor busuk berjiwa predator hidup bebas di Negara hukum ini. Upaya baru oleh Negara adalah membentuk lembaga baru dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dijalankan tahun 2005 guna menuntaskan segala bentuk persoalan raya hari ini dan akan datang terbebas dari korupsi. KPK yang masih sangat mudah kemudian mengambil peran dalam persoalan korupsi saat ini, namun seperti slogan rakyat kecil, yang benar di singkirkan dan yang salah di pertahankan.
KPK merupakan lembaga Rakyat dan POLRI merupakan lembaga Pemerintah. mengapa demikian, realitas bisa membenarkan dengan adanya historis kedudukan dua lembaga ini dan realisasi tugas dan tanggung jawap di tengah-tengah Rakyat saat ini. Misalkan seorang nenek yang mengambil 1 buah Coklat di hukum 5 tahun penjara, namun seorang pejabat mengkorup uang Negara atau daerah dengan Miliar di biarkan menghirup udara kebebasan di Negara hukum ini, lalu sebenarnya dimanakah letak Negara hukum itu. Dengan alasan ini bisa dikatakan dengan pertimbangan realitas bahwa institusi POLRI adalah lembaga Pemerintah.
Antara POLRI dan KPK memiliki legitimasi normative yang sah, namun payung hukum yang di gunakan itu berbeda sesuai dengan ketetapan paham konstitusional Undang-Undang Dasar 1 juni 1945. Mengapa memiliki satu paying hukum? jawabannya Karna dalam logika hukum berdasarkan pembagiannya, badan perencanaan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah dan Kepres dll…tidak bisa membuat satu regulasi yang tidak memiliki landasan di dalam UUD 1 Juni 1945.
Sejarah Terbentuk KPK
Kehadiran KPK merupakan satu kebutuhan hukum yang harus di penuhi oleh negara, akibat dari maraknya kasus korupsi yang terjadi di negara bangsa indonesia yang baru seumuran tanaman Jagung. Sehingga ketika transisi kekuasan orde baru ke reformasi kemudian melalui tangan Presiden Habibi kemudian membentuk satu lembaga yang husus untuk menangani tindak pidana korupsi sesuai dengan kewenangan presiden yang di atur di dalam UUD 45. Disini lah cikal bakal terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Akan tetapi bukan hal baru dalam pembentukan lembaga yang husus untuk menangani tindak pidana korupsi.
Ketika Dimasa orde lama, tercatat dua kali pembentukan badan pemberantasan Korupsi. Pertama: Perangkat aturan UU keadan bahaya, lembaga ini di sebut ‘’Retooling Aparatur Negara’’ (PARAN). Badan ini di pimpin oleh A.H. Nasition dan dibantu oleh dua orang anggota. Yakni Prof. M.Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada PARAN inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian Formulir yang di sediakan. Namun pejabat korupsi bereaksi dengan melaporkan ke presiden sebagai dalih Yuridis bahwa pertanggung jawaban secara langsung pada presiden akhirnya menyerahkan PARAN kepada Kabinet DJUANDA. Begitu juga pada tahun 1963 melalui keputusan presiden no.275 tahun 1963 pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasitioan sebagai mentri kordinator pertahanan dan keamanan dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan nama Operasi Budhi. Dengan Sasaran utama pelaku korupsi perusahan-perusahan Negara serta lembaga negara yang rawan KKN. Akan Operasi Buhdi kemudian mengalami kemandekan. Sekalipun berhasil menyelamatkan keungan Negara sebesar Rp. 11 Miliar.
Berbeda dengan Polri yang ada sejak beberapa tahun Indonesia merdeka di bandingkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk di masa peralihan reformasi, hal ini kemudian sering menimbulkan kecemburuan dll..dalam menangani berbagai penyangkit social yang menggerogoti birokrasi dan pemerintahan saat ini. kemudian sering kali menimbulkan cekcok diantara kedua lembaga ini sejak KPK di aktifkan pada tahun 2005 silam yang telah menjadikan dua komisioner KPK sebagai tersangka namun pada akhirnya pengadilan Negri pusat menyatakan mereka tidak bersalah.
Hal ini sebagai indikasi untuk menyimpulkan bahwa Polri dan KPK bisa berbaring bersama namun Polri tidak dapat tidor dengan Komisi Pembarantasan Korupsi dalam mengawal berbagai tindak pidana korupsi yang melibatkan Elit Politik di Negri ini.
Untuk itu sinergitas beberapa lembaga ini kemudian sangat di butuhkan, namun klaim mengklaim memperkecil dan mempersempit tugas dan wewenang masing-masing lembaga ini kemudian sering menimbulkan ketersinggungan yang sengit, hal ini juga akibat tumbang tindihnya regulasi yang kemudian mengatur wilayah kerja sehingga ruang ketersinggungan membuat konflik yang tak terelakan. bukan saja factor wewenang dan tugas yang menjadi objek pokok akan tetapi konstalasi politik juga menentukan hal ini karna kewenangan menetapkan siapa yang menjadi KAPOLRI dan KPK ada di tangan Presiden. Itu artinya partai koalisi juga akan mengambil peran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar