Refleksi
Konflik KPK Vs POLRI
Oleh:
Iwan Marwan
Konsep Trias Politica
yang di tawarkan oleh Monthesqy dan VanVolenhoven tentang pembagian kekuasan
dalam Negara kemudian di anut oleh Negara Bangsa Indonesia yakni Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif. Diantara lembaga ini dalam logika system politik Indonesia
di sebut dengan supra struktur politik.
Diantara lembaga ini
kemudian memiliki masing-masing tugas, dan tanggung jawap yang otonom,
misalkan; legislative yang bertugas membuat regulasi dan mengawal jalannya roda
pemerintahan, Eksekutif yang menangani persoalan pemerintahan, dan Yudikatif
sebagai lembaga peradilaan memiliki tugas untuk mengadili para aktof-aktor yang
melanggar hukum. Pada ahir abad ke 21 ini, secara akselerasi Negara Indonesia
kemudian masih terbelakan dengan segala pelayanan pablik dan melahirkan
berbagai problem social yang jauh tertinggal dari harapan rakyat. Namun
perhatian Negara pada saat ini adalah tindak pidana korupsi yang menempatkan
Negara Indonesia sebagai Negara terkorup di dunia.
Sehingga yang menjadi
perhatian kita adalah lembaga yudikatif yaitu kejagung dan Polri yang selama
ini tidak mampu menuntaskan berbagai kasus korupsi yang semakin meningkat dan
membiarkan para actor busuk berjiwa predator hidup bebas di Negara hukum ini.
Upaya baru oleh Negara adalah membentuk lembaga baru dalam hal ini adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna menuntaskan segala bentuk persoalan
raya hari ini yang mencekam. terkadang lembaga Negara yang baru yang di bentuk
untuk mengatasi berbagai problematika Negara yang tak terselesaikan dan
tertumpuk saat ini, juga takseefektif apa yang kemudian menjadi harapan kita
bersama.
Untuk itu sinergitas
beberapa lembaga ini kemudian sangat di butuhkan, namun klaim mengklaim
memperkecil dan mempersempit tugas dan wewenang masing-masing lembaga ini kemudian
sering menimbulkan ketersinggungan yang sengit, hal ini juga akibat tumbang
tindihnya regulasi yang kemudian mengatur wilayah kerja sehingga ruang
ketersinggungan membuat konflik yang tak terelakan. bukan saja factor wewenang
dan tugas yang menjadi objek pokok akan tetapi konstalasi politik juga
menentukan hal ini karna kewenangan menetapkan siapa yang menjadi KAPOLRI dan
KPK ada di tangan Presiden. Itu artinya partai koalisi juga akan mengambil
peran.
Untuk bagaimana kita
menganalisis konflik POLRI dan KPK dalam perspektik Sosial dan Hukum, suda
menjadi barang tentu kita harus mendudukan kapasitas dua lembaga Negara ini
secara historis dan yuridis, agar kita dapat menganilisis tepat pada objek
masalah yang aksioma. tampa menganulir panjang lebar persoalan yang bisah di
katakana bahwa apakah benar ini murni ketersinggungan ruang kerja atau kah
persoalan etika pejabat Polri dan KPK yang memang menuai tanda tanya pablik,
atau pula persoalan dinamika politik yang berdasarkan hemat saya bahwa konflik
POLRI dan KPK merupakan isolasi politik yang di lakukan oleh Presiden Jokowi
guna membunuh isu-isu tentang Koalisi
Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat agar polemic ini kemudian tidak menjadi
perpecahan perpanjangan dan terselubung di tengah-tengah Rakyat Indonesia.
Sebagai sosok pemimpin
yang di anggap bijak dan sederhana dan merakyat untuk memimpin republik ini
kemudian mendapatkan berbagai ujian saat ini. Sebagai seorang Presiden Joko
Widodo dalam menahkodai Negara bangsa yang mengarungi lautan ranjau barat yang
penuh dengan hutang luar negri saat ini merupakan tugas yang berat. Akan
tetapi, yang muncul di tengah-tengah social saat ini adalah spekulasi sebuah
kegagalan dan kebijakan yang lambat yang di lakukan oleh seorang Presiden.
Padahal sebagai seorang ayah yang melihat dua anak yang bertengkar tidak
mungkin dia mengambil langkah yang melahirkan ketersinggungan. Namun ketika
praperadilan yang kemudian di lakukan oleh Budi Gunawan di terima oleh MK,
kiranya presiden Jokowi akan melanting BG tapi malah mengusulkan kembali Komjen
Bahrudin Haiti Tampa memperdulikan tekanan-tekanan dari DPR sehinga banyak
menuai kotrofersi.
Persoalan pelantikan
Komjen Budi Gunawan sebagai KAPOLRI terabaikan akibat BG ditahan oleh KPK bukan
sekedar persoalan konstalasi politik antara KMP dan KIH yang berbenturan akan
tetapi murni kasus Korupsi dan itu harus di
lakukan oleh KPK sebagai lembaga yang khusus pada wilayah korupsi.
Terlepas dari tindakan KPK yang telah di anggap mencitrai sebuah Organisasi
POLRI yang selama ini di junjung tinggi oleh masrakat. Institusi POLRI kemudian
melakukan serangan balik lewat KAPOLDA Makassar ketika menjadikan ketua KPK
Abraham Samad sebagai tersangka dengan tuduhan pemalsuan dokumen yang di anggap
sebagai tindakan pembalasan yang kemudian di lakukan oleh POLRI.
A.
Dari Perspektif Sosial
Negara
Indonesia merupakan sebuah Negara besar dan bet-tuhan, namun realitas social
kemudian menceritakan dan memberitahukan kepada kita berbagai problem
social yang sampai saat ini kemudian
masih menjadi PR buat pemerintah dan khususnya POLRI yang memiliki tugas khusus
sebagaimana tertuang di dalam pasal 33 UUD, 1945. Untuk melindungi segenap
rakyat bangsa Indonesia dan menjadi keresahan buat Rakyat di Negara Bangsa
Indonesia ini. Dengan maraknya berbagai Kasus criminal dan Korupsi yang telah
melibatkan sejuta predator buas yaitu para petinggi elit politik kita di
birokrasi dan pemerintah. Persoalan ini merupakan tugasPOLRI-KPK sebagaiman
lembaga yang tugas pokoknya menyangkut dengan kasus kriminalitas dan korupsi
tersebut. Pemerintah juga bingung dalam menangani berbagai penyakit social saat
ini, Sebagai bentuk pelayanan POLRI dan KPK terhadap Rakyat suda semestinya ketegasan dan
profesionalisme sangat di butuhkan untuk memberantas penyakit social yan selalu
menjangkit dan meresahkan itu.
Akan
tetapi, kita lihat sendiri bahwa POLRI yang sebagai lembaga pengayom,
pengamanan dan menjadi wadah buat Rakyat berdasarkan pasal 33. UUD 1 juni 1945
dan dalam Kode Etik Kepolisian kemudian di jelaskan didalam TRISEWAKOTAMA terkesan
tumpang tindih dan tidak sesuaidengan kondisi realitas kekinian. Namun
lagi-lagi hasil yang di inginkan oleh rakyat tidak sesuai dengan tuntutan
Konstitusi rakyat itu akibat dari pada ketidak loyalitasnya dalam pengabdianya.
Sedangkan KPK yang dibentuk untuk menjawap persoalan korupsi yang semakit
meningkat juga tidak membuahkan hasil dan bahkan komisioner KPK di
kriminalkan oleh pihak-pihak tertentu.
Dan lemahnya penetrasi kedua lembaga hukum ini juga akibat rivalitas KPK-POLRI terekam kuat saat
KPKdi jalankan di tahun 2005.
Dalam
sepekan terahir, persoalan kelembagaan KPK –POLRI ini menyedot perhatian
seluruh pablik.dalam perspektif pablik, ketegangan hubungan KPK-POLRI tidak
terlepas dari rivalitas parpol atau pun kepentingan-kepentingan politik lainya.
Itu terindikasih dari keteguhan dukungan dari partai pendukung pemerintah
terhadap pengajuan calon Kapolri komjen Bdi Gunawan. Di sisi lain, permainan
politik di DPR dengan hampir semuah fraksi meluluskan uji kelayakan dan
kepatutan terhadap BudiGunawan menggambarkan situasi yang tak koheren dengan
pembelahan politik dalam kubu KIH dan KMP.
Maneuver
politik dalam persoalan hukum ini menjadi keprihatinan pablik. Semestinya
sinergisitas ke dua lembaga ini sebagai pilar penegakan hukum di Indonesia. Bukan
malah bersiteru dan saling menjegal. Proses hukum pemberantasan korupsi
dimanfaatkan sebagai alat kepentingan politik. Selain itu, persiteruan ini
merongrong legitimasi kedua lembaga, baik melemahan KPK atau merusak wibawah
POLRI. Mayoritas rakyat menganggap
kondisi ini kontraproduktifitas terhadap penegakan hukum, terutama upaya
pemberantasan korupsi yang sampai saat ini belum banyak membuahkan hasil dan
memuaskan dahaga tuntutan rakyat. Karna perseteruan yang tidak bermanfaat di
mata rakyat Indonesia.
Menilik
ke belakang KPK, selama ini cenderung memiliki citra yang jauh lebih positif
dari pada POLRI sekalipun ada beberapa pimpinan KPK di periode sebelum Abraham
Samat telah di kriminalisasi dan di periode kali ini juga 2 komisioner KPK di
kriminalisasi pula. Dibandingkan dengan citra POLRI yang tidak lebih positif
dari KPK. Ketika Kapolda Makassar mengumumkan Abraham Samat sebagai tersangka
pemalsuan dokumen. Hal ini kemudian menjadi anggapan bahwa upaya pelemahan
terhadap citra KPK selalu berujung pada penguatan citra KPK di mata public.
Mengapa demikian, karna rekam jejak KPK dua tahun terahir ini yang selalu
mendapat dukungan social diatas level 75%
responden, sedangkan POLRI hanya mendapatkan 30,2% responden akibat
citra dan provesionalisme yang tidak baik.
Lihat saja ketika AS
dan BW di tetapkan sebagai tersangka, muncul dukungan aksi dari berbagai
kalangan akademisi, mahasiswa dan rakyat. Itu artinya bahwa rakyat lebih memili
KPK di bandingkan dengan POLRI, dalam
teori semiotika dan semiologi, dukungan Rakyat lewat aksi merupakan tanda bahwa
institusi POLRI tidak lagi menjadi idola Rakyat saat ini karna persoalan masa
lalu polri. Paradikma masrakat terkait dengan Kriminalisasi POLRI terhadap KPK
adalah bagian untuk menghalangi cita-cita rakyat dan mendukung actor-aktor
koruptor di bangsa ini.
Sebenarnya
rakyat Indonesia tidak menginginkan perseteruan diantara kedua lembaga penting
milik Negara demokrasi hukum ini, apalagi dengan kondisi virus korupsi yang
sangat ini menyerang para pelayan Rakyat sehingga menyebabkan kerugikan buat
Rakyat selama ini. Akibat dari virus korupsi membuat rakyat sangat menderita.
Untuk itu, sinergisitas adalah bagian yang menjadi dambaan rakyat untuk
bagaimana menyelesaikan berbagai tindak pidana korupsi yang melibatkan para
pelayan Rakyat di bawa bingkai Negara bangsa ini. Mengapa sehingga rakyat
bersifat apatis dan malah tidak saling bahu membahu untuk membangun Indonesia
lebih baik di mata dunia, akibat konstruksi kepentingan politik yang melahirkan
virus korupsi itu sendiri di tubuh Birokrasi dan Pemerintah sehingga rakyat
tidak lagi mempercayai segala bentuk lain yang menyangkut dengan Pemerintah.
B.
Dari Perspektif Hukum
Konsep
Trias Politica yang di tawarkan oleh Monthesqy dan VanVolenhoven tentang
pembagian kekuasan dalam Negara kemudian di anut oleh Negara Bangsa Indonesia
sebagai Negara hukum. Diantara lembaga ini dalam logika system politik
Indonesia di sebut dengan supra struktur politik yang meliputi Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif.
Diantara ketiga lembaga
ini kemudian memiliki masing-masing tugas dan tanggung jawap yang otonom,
misalkan; legislative yang bertugas membuat regulasi dan mengawal jalannya roda
pemerintahan, Eksekutif yang menangani persoalan pemerintahan, dan Yudikatif
sebagai lembaga peradilaan memiliki tugas untuk mengadili para aktof-aktor yang
melanggar hukum. Pada ahir abad ke 21 ini, secara akselerasi Negara Indonesia
kemudian masih terbelakan dengan segala pelayanan pablik dan berbagai problem
social yang jauh tertinggal dari harapan rakyat. Namun perhatian Negara pada
saat ini adalah berbagai tindak pidana korupsi yang menempatkan Negara
Indonesia sebagai Negara terkorup di dunia.
Korupsi bagaikan virus
yang merupakan penyakit didalam tubuh Birokrasi Pemerinthan, Untuk mengatasi
persoalan itu sehingga Negara kemudian menginginkan actor –aktor hukum yang
Profesional didalam tubuh lembaga yudikatif yaitu Kejagung dan Polri yang
selama ini tidak mampu menuntaskan berbagai kasus korupsi yang semakin
meningkat dan membiarkan para actor busuk berjiwa predator hidup bebas di
Negara hukum ini. Upaya baru oleh Negara adalah membentuk lembaga baru dalam
hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dijalankan tahun 2005
guna menuntaskan segala bentuk persoalan raya hari ini dan akan datang terbebas
dari korupsi. KPK yang masih sangat mudah kemudian mengambil peran dalam
persoalan korupsi saat ini, namun seperti slogan rakyat kecil, yang benar di
singkirkan dan yang salah di pertahankan.
KPK merupakan lembaga
Rakyat dan POLRI merupakan lembaga Pemerintah. mengapa demikian, realitas bisa
membenarkan dengan adanya historis kedudukan dua lembaga ini dan realisasi
tugas dan tanggung jawap di tengah-tengah Rakyat saat ini. Misalkan seorang nenek
yang mengambil 1 buah Coklat di hukum 5 tahun penjara, namun seorang pejabat
mengkorup uang Negara atau daerah dengan Miliar di biarkan menghirup udara
kebebasan di Negara hukum ini, lalu sebenarnya dimanakah letak Negara hukum
itu. Dengan alasan ini bisa dikatakan dengan pertimbangan realitas bahwa
institusi POLRI adalah lembaga Pemerintah.
Antara POLRI dan KPK
memiliki legitimasi normative yang sah, namun payung hukum yang di gunakan itu
berbeda sesuai dengan ketetapan paham konstitusional Undang-Undang Dasar 1 juni
1945. Mengapa memiliki satu paying hukum? jawabannya Karna dalam logika hukum
berdasarkan pembagiannya, badan perencanaan Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah dan Kepres dll…tidak bisa membuat satu regulasi yang tidak memiliki
landasan di dalam UUD 1 Juni 1945.
Sejarah Terbentuk KPK
Kehadiran KPK merupakan
satu kebutuhan hukum yang harus di penuhi oleh negara, akibat dari maraknya
kasus korupsi yang terjadi di negara bangsa indonesia yang baru seumuran
tanaman Jagung. Sehingga ketika transisi kekuasan orde baru ke reformasi
kemudian melalui tangan Presiden Habibi kemudian membentuk satu lembaga yang
husus untuk menangani tindak pidana korupsi sesuai dengan kewenangan presiden
yang di atur di dalam UUD 45. Disini lah cikal bakal terbentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi. Akan tetapi bukan hal baru dalam pembentukan lembaga
yang husus untuk menangani tindak pidana korupsi.
Ketika
Dimasa orde lama, tercatat dua kali pembentukan badan pemberantasan Korupsi. Pertama: Perangkat aturan UU keadan
bahaya, lembaga ini di sebut ‘’Retooling Aparatur Negara’’ (PARAN). Badan ini
di pimpin oleh A.H. Nasition dan dibantu oleh dua orang anggota. Yakni Prof.
M.Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada PARAN inilah semua pejabat harus
menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian Formulir yang di
sediakan. Namun pejabat korupsi bereaksi dengan melaporkan ke presiden sebagai
dalih Yuridis bahwa pertanggung jawaban secara langsung pada presiden akhirnya
menyerahkan PARAN kepada Kabinet DJUANDA. Begitu juga pada tahun 1963 melalui
keputusan presiden no.275 tahun 1963 pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasitioan
sebagai mentri kordinator pertahanan dan keamanan dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan nama Operasi Budhi.
Dengan Sasaran utama pelaku korupsi perusahan-perusahan Negara serta lembaga
negara yang rawan KKN. Akan Operasi Buhdi kemudian mengalami kemandekan. Sekalipun
berhasil menyelamatkan keungan Negara sebesar Rp. 11 Miliar.
Berbeda
dengan Polri yang ada sejak beberapa tahun Indonesia merdeka di bandingkan
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk di masa peralihan reformasi,
hal ini kemudian sering menimbulkan kecemburuan dll..dalam menangani berbagai
penyangkit social yang menggerogoti birokrasi dan pemerintahan saat ini.
kemudian sering kali menimbulkan cekcok diantara kedua lembaga ini sejak KPK di
aktifkan pada tahun 2005 silam yang telah menjadikan dua komisioner KPK sebagai
tersangka namun pada akhirnya pengadilan Negri pusat menyatakan mereka tidak
bersalah.
Hal
ini sebagai indikasi untuk menyimpulkan bahwa Polri dan KPK bisa berbaring
bersama namun Polri tidak dapat tidor dengan Komisi Pembarantasan Korupsi dalam
mengawal berbagai tindak pidana korupsi yang melibatkan Elit Politik di Negri
ini.
Untuk
itu sinergitas beberapa lembaga ini kemudian sangat di butuhkan, namun klaim
mengklaim memperkecil dan mempersempit tugas dan wewenang masing-masing lembaga
ini kemudian sering menimbulkan ketersinggungan yang sengit, hal ini juga
akibat tumbang tindihnya regulasi yang kemudian mengatur wilayah kerja sehingga
ruang ketersinggungan membuat konflik yang tak terelakan. bukan saja factor
wewenang dan tugas yang menjadi objek pokok akan tetapi konstalasi politik juga
menentukan hal ini karna kewenangan menetapkan siapa yang menjadi KAPOLRI dan
KPK ada di tangan Presiden. Itu artinya partai koalisi juga akan mengambil
peran.