Sabtu, 21 November 2015

Refleksi pemilihan serentak 9 Desember.

               ANCAMAN POTENSI KONFLIK DALAM PILKADA SERENTAK

Oleh;Iwan Marwan

Konflik lahir akibat benturan kepentingan diantara individu, dan kelompong yang masing-masing mempunyai hak untuk makan dan mempertahankan hidup. Konflik biasanya bukan lahir atau terjadi begitu saja tampa ada sebab musabah. Namun berbicara konflik politik yang sering kita saksikan bersama disetiap pesta demokrasi politik, terkadang konflik politik itu muncul akibat konspirasi dan setingan aktor politik yang memiliki kepentingan untuk memecah kantong-kantong basis kandidat atau ancaman kekalahan yang dialami setiap kandidat dalam pertarungan kekuasan didaerah. Itu artinya rakyat merupakan objek konflik politik sehingga yang harus kita lakukan sebagai cendekia kampus sebagai hal yang urgen adalah melakukan penyadaran dan mengawal masrakat yang notabennya masih terkategori pada prilaku pemilih irasional.
Kiranya, potensi konflik pada pilkada serentak sangat jauh bagi daerah yang jauh dari dinamika politik identitas yang kuat dan prilaku pemilih yang cerdas. Maka, yang menjadi asumsi dasar saya saat ini adalah rawan konflik hanya akan terjadi disetiap daerah yang kuat politik identitasnya dan prilaku pemilih yang tidak rasional dalam menentukan setiap pemimpin yang tidak berdasarkan informasi dan sumberdaya manusia yang kuat juga masalah serius yang perlu dijadikan sebagai pegangan konflik politik yang sering terjadi, hal ini di lihat dari study kasus pada konflik yang terjadi pada pemilihan gubernur Prov. Maluku Utara di tahun 2007 silam yang telah memberikan dampak isu nasional dan sala satu sengketa pilkada terlama didunia.
Hal diatas adalah catatan demokrasi politik yang buruk akibat dari pada politik identitas, mengapa demikian? Kita harus menggaris bawahi Konflik antara pendukung Taib Armain dan Abdul Gafur sebagai  konflik identitas etnik untuk mempertahankan harga diri masing-masing suku yang ada di Prov. Maluku Utara. Sekalipun konflik tersebut dipicuh oleh kecurangan penyelenggara namun itu hanya menjadi alasan yang tidak begitu spesifik karna ketika konflik berlangsung, seluruh etnik makian yang berada di seluruh pelosok di mobilisasi ke lapangan sengketa yang di istilahkan oleh masrakat ternate sebagai jalur gaza. Itu artinya bahwa yang muncul adalah identitas etnik bukan sekedar ketimpangan yang terjadi pada meja KPU semata. Dengan minimnya pendidikan dan sosialisasi politik pada tingkatan masrakat yang melek huruf dalam istilah politik, dapat berpengaruh terhadap pola pemikiran masrakat untuk berpartisipasi dalam agenda demokrasi politik dengan benar berdasarkan aturan yang menjadi sandaran kita demi terciptanya demokrasi delibery yang tidak melahirkan sengketa.
Saya mengutip perkataan Syafi Ma’arif Pada sala satu kuliah umum dengan tema demokrasi pemilukada pada tahun 2013, beliau mengatakan bahwa, demokrasi kita adalah demokrasi budaya bukan demokrasi peradaban, karna kita berdemokrasi tampa di dukung oleh sumber daya manusia. Akibatnya memicu berbagai konflik ketika demokrasi pemilukada itu berlangsung, karna pengetahuan tentang politik 0,1% sehingga para tim-tim kampanye melakukan sofistikasi politik yang pada ahirnya menjadi benih konflik pemilukada berlangsung.
Peran politik identitas yang hanya merepresentasikan minoritas etnik tertentu akan berakibat pada pembangunan yang tidak merata pula, hal ini akan mengakibatkan kecemburuan sosial pada etnik tertentu yang kuat sehingga akan menjadi benih pemicu konflik pemilukada. Karna yang di pertahankan adalah harga diri etnik tertentu dan nantinya dalam proses pemberdayaan generasi, etnik yang berkuasa  sangat mengutamakan generasinya di banding etnik yang lain.
Kondisi politik identitas yang kemudian berlangsung dalam kurun waktu 2 periode yang di nahkodai oleh Hj.Taib Armain di Prov. Maluku Utara ini kemudian bisa dikatakan sebagai representasi dari etnik makian akibat dari tiap-tiap kepala dinas diberbagai instansi birokrasi pemerintahan adalah berasal dari etnik makian. Hal ini kemudian di lanjutkan oleh etnik Togale ketika kemenanganya Ky Gani Kasuba sebagai gubernur Prov. Maluku Utara.

Untuk bagaimana memainkan politik etnik yang rasional, butuh pendidikan politik yang bukan sekedar menjemput momentum untuk kita berkomunikasi politik demi kepentingan minoritas yang bukan representatif dari masrakat maluku utara. Bibit-bibit yang kemudian di lahirkan oleh UMMU ternate, UNKHAIR ternate, STKIEP ternate, IAIN ternate dll.. tak mampu di tanam akibat dari pada dampak politik etnik yang tidak didukung dengan intelektual yang semestinya menjadi landasan dan pola pikir masrakat dalam berpartisipasi ketika pesta demokrasi akan berlangsung sesuai waktu yang ditentukan oleh penyelenggara.
dan pula perlu peningkatan sumberdaya manusia untuk berdemokrasi sebagai mana kata shafi ma'arif. 

Senin, 12 Oktober 2015

Politik Luar Negri Indonesia



DAFTAR  ISI

Kata pengantar

Daftar isi

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN
  Pengertian Politik Luar Negri 
  Politik Luar Negri Bebas dan Aktif 
 Pelaksanaan Politik Luar Negri Indonesia
BAB III PENUTUP
Kesimpulaan
DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PENDAHULUAN
Republik Indonesia, disingkat RI atau Indonesia, adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau, nama alternatif yang biasa dipakai adalah Nusantara. Dengan populasi lebih dari 237 juta jiwa pada tahun 2010,Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dengan lebih dari 207 juta jiwa,meskipun secara resmi bukanlah negara islam. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republic, dengan Dewan Perwakilan, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden yang dipilih langsung.Indonesia adalah sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer. Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan. Walaupun ± 90% penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah sebuah negara Islam.
Cabang eksekutif dipimpin oleh seorang presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang dibantu oleh seorang wakil presiden yang kedudukannya sebagai pembantu presiden di atas para menteri yang juga pengawas presiden. Kekuasaan legislatif dibagi di antara dua kamar di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR yaitu Dewan Perwakilan Rakyat/DPR dan Dewan Perwakilan Daerah/DPD. Cabang yudikatif terdiri dari Mahkamah Agung/MA yang dan sebuah Mahkamah Konstitusi/MK yang secara bersama-sama memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Inspektif dikendalikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki perwakilan di setiap provinsi dan kabupaten/kota di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Definisi Politik dalam Negeri. Politik dalam negeri adalah kehidupan kenegaraan berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang mampu menyerap aspirasi dan dapat mendorong partisipasi masyarakatt dalam suatu system. Unsur-unsur terdiri atas struktur politik, proses politik, budaya politik, komunikasi politik dan partisipasi politik. 1. Pengertian struktur Politik. Struktur politik merupakan wadah penyaluran kepentingan masyarakat dan sekaligus wadah pengkaderan pimpinan nasional 2. Pengertian Proses Politik. Proses politik merupakan suatu rangkaian pengambilan keputusan tentang berbagai kepentingan politik maupun kepentingan umum yang bersifat nasional dan penentuan dalam pemilihan kepemimpinan yang puncaknya terselenggara melalui pemilu. 3. Pengertian budaya politik. Budaya politik merupakan pencerminan dari aktualisasi hak dan kewajiban yang dilaksanakan secara sadar dan rasional melalui pendidikan politik maupun kegiatan politik yang sesuai dengan disiplin nasional. 4. Pengertian komunikasi politik. Komunikasi politik adalah suatu hubungan timbale balik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di mana rakyat merupakan sumber aspirasi dan sumber pimpinan nasional.
Indonesia adalah sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer. Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan. Cabang eksekutif dipimpin oleh seorang presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang dibantu oleh seorang wakil presiden yang kedudukannya sebagai pembantu presiden di atas para menteri yang juga pembantu presiden. Kekuasaan legislatif dibagi di antara dua kamar di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR yaitu, Dewan Perwakilan Rakyat/DPR dan Dewan Perwakilan Daerah/DPD. Cabang yudikatif terdiri dari Mahkamah Agung/MA yang dan sebuah Mahkamah Konstitusi/MK yang secara bersama-sama memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Inspektif dikendalikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki perwakilan di setiap provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia. 
Pemilihan Umum diselenggarakan setiap 5 tahun untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD yang disebut pemilihan umum legislatif (Pileg) dan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden atau yang disebut pemilihan umum presiden (Pilpres). Pemilihan Umum di Indonesia menganut sistem multipartai.
Ada perbedaan yang besar antara sistem politik Indonesia dan negara demokratis lainnya di dunia. Di antaranya adalah adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan ciri khas dari kearifan lokal Indonesia, Mahkamah Konstitusi yang juga berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan umum, bentuk negara kesatuan yang menerapkan prinsip-prinsip federalisme seperti adanya Dewan Perwakilan Daerah, dan sistem multipartai berbatas di mana setiap partai yang mengikuti pemilihan umum harus memenuhi ambang batas 2.5% untuk dapat menempatkan anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat maupun di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD Kabupaten/Kota.


BAB II
PEMBAHASAAN
A.    Pengertian Politik Luar Negri
Politik luar negeri adalah strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Dalam arti luas, politik luar negeri adalah pola perilaku yang digunakan oleh suatu Negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Politik luar negeri berhubungan dengan proses pembuatan keputusan untuk mengikuti pilihan jalan tertentu. Menurut buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (1984-1988), politik luar negeri diartikan sebagai “suatu kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha untuk mencapai tujuan nasional”. Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan kepentingan nasionalnya ke dalam masyarakat antar bangsa”. Dari uraian di muka sesungguhnya dapat diketahui bahwa tujuan politik luar negeri adalah untuk mewujudkan kepentingan nasional. Tujuan tersebut memuat gambaran mengenai keadaan negara dimasa mendatang serta kondisi masa depan yang diinginkan. Pelaksanaan politik luar negeri diawali oleh penetapan kebijaksanaan dan keputusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang didasarkan pada faktor-faktor nasional sebagai faktor internal serta faktor-faktor internasional sebagai faktor eksternal.
Politik luar negeri adalah arah kebijakan suatu negara untuk mengatur hubungannya dengan negara lain. Politik luar negeri merupakan bagian dari kebijakan nasional yang diabdikan bagi kepentingan nasional dalam lingkup dunia internasional. Setiap negara mempunyai kebijakan politik luar negeri yang berbedabeda. Mengapa demikian? Karena politik luar negeri suatu negara tergantung pada tujuan nasional yang akan dicapai. Kebijakan luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh faktor luar negri dan faktor dalam negri.
v  Faktor Luar Negri
Faktor luar negeri, misalnya akibat globalisasi. Dengan globalisasi seakanakan dunia ini sangat kecil dan begitu dekat. Maksudnya dunia ini seperti tidak ada batasnya. Hubungan satu negara dengan negara lainnya sangat mudah dan cepat. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi komunikasi seperti sekarang ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara lain dengan mudah diketahui oleh negara lain.

v  Faktor Dalam Negri
Faktor dalam negeri juga akan mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Misalnya sering terjadinya pergantian pemimpin pemerintahan. Setiap pemimpin pemerintahan mempunyai kebijakan sendiri terhadap politik luar negeri.
B.     Politik Luar Negri Indonesia Bebas dan Aktif
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, rumusan yang ada pada alinea I dan alinea IV Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar hukum yang sangat kuat bagi politik luar negeri RI. Namun dari rumusan tersebut, kita belum mendapatkan gambaran mengenai makna politik luar negeri yang bebas aktif. Karena itu dalam uraian ini akan dikutip beberapa pendapat mengenai pengertian bebas dan aktif. A.W Wijaya merumuskan: Bebas, berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain. Sementara itu Mochtar Kusumaatmaja merumuskan bebas aktif sebagai berikut :
Bebas : dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif : berarti bahwa di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadiankejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif .
B.A Urbani menguraikan pengertian bebas sebagai berikut : perkataan bebas dalam politik bebas aktif tersebut mengalir dari kalimat yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut : supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Jadi menurut pengertian ini, dapat diberi definisi sebagai “berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri, terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa apriori memihak kepada suatu blok”.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia ini dijalankan karena adanya sebuah cita-cita yang ingin dicapai. Cita-cita tersebut, yaitu dengan adanya keinginan dalam melakukan kerjasama dan mengadakan hubungan baik dengan bangsa-bangsa lain. Selain itu, dalam politik luar negeri Indonesia memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan bangsa, memperoleh dari luar negeri barang-barang yang diperlukan untuk memperbesar kemakmuran rakyat, perdamaian internasional, dan persaudaraan segala bangsa sebagai pelaksanaan cita-cita yang tersimpul dalam Pancasila (Hatta, 1953: 6-7).  Politik luar negeri Indonesia mengalami perkembangan, yaitu telah terjadi pergantian masa enam dekade. Dalam perjalanannya tersebut terjadi pemaknaan yang bervariasi terhadap prinsip-prinsip yang menjadi landasan perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sendiri (Alami, 2008: 26-27).
Politik luar negeri Indonesia memiliki landasan yang membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu landasan idiil, landasan konstitutsional, dan landasan operasional. Landasan idiil politik luar negeri Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila dikenal sebagai dasar negara bangsa Indonesia yang terdiri dari lima sila. Kelima sila tersebut menjelaskan mengenai pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia (Alami, 2008: 28).
Landasan konstitusional politik luar negeri Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 ini mengandung pasal-pasal yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menjelaskan mengenai garis-garis besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Terdapatnya hal semacam ini berfungsi sebagai dalam pelaksanaan untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia (Alami, 2008: 28). Sedangkan, landasan operasionalnya, yaitu bebas aktif. Pada pelaksanaan landasan operasional ini mengalami perubahan karena menyesuaikan dengan kepentingan nasional yang ingin dicapai. Selain itu, landasan operasional juga mengalami perluasan makna karena politik luar negeri Indonesia yang mengalami perkembangan selama enam dekade (Alami, 2008: 28-29).
Landasan operasional politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan dan dapat dilihat dengan adanya perbedaan dalam memahami landasan operasional pada setiap masanya, misalnya pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Pertama, masa Orde Lama dijelaskan bahwa landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Hal ini dapat dilihat dalam maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Selain itu, pada dasawarsa 1950-an menjelaskan bahwa landasan operasional mengalami perluasan makna. Perluasan makna tersebut diyatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya yang berjudul “Jalannya Revolusi”, maksud dalam pidato tersebut, yaitu mengenai prinsip bebas aktif yang dicerminkan dengan adanya hubungan ekonomi dengan luar negeri. Sedangkan, masa Orde Baru dijelaskan bahwa landasan operasional politik luar negeri Indonesia semakin dipertegas dengan adanya peraturan formal. Penegasan yang diwujudkan melalui Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1965 tanggal 5 Juli 1966, Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973, petunjuk Presiden 11 April 1973, petunjuk bulanan Presiden sebagai Presiden sebagai ketua Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan, dan keputusan-keputusan Menteri Luar Negeri, serta dalam TAP MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Selain itu, landasan operasional pasca Orde Baru dijelaskan bahwa mengalami perubahan pemerintahan secara cepat. Hal ini dapat dilihat dengan adanya dua kabinet yang memerintah pada masa pemerintahan pasca Orde Baru, yaitu kabinet Kabinet Gotong Royong dan  Kabinet Indonesia Bersatu (Alami, 2008: 28-34).
C.    Pelaksanan Politik Luar Negri Indonesia
Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia - Bagaimana perjalanan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia? Sebagai jawaban atas pertanyaan ini, berikut akan diuraikan tentang sifat politik luar negeri Indonesia serta perkembangan-perkembangannya dewasa ini.

1. Bebas Aktif Sebagai Sifat Politik Luar Negeri Indonesia
Sejak Bung Hatta menyampaikan pidato berjudul ”Mendajung Antara Dua Karang” (1948) negara Republik Indonesia menganut politik luar negeri yang bebas dan aktif. Bebas artinya Indonesia berhak menentukan sendiri dalam sikap serta pandangan internasionalnya, terlepas dari kekuatan-kekuatan negara besar. Aktif artinya  tetap ikut andil dalam setiap upaya meredakan ketegangan yang terjadi di dunia internasional. RI tidak berpangku tangan dalam setiap persengketaan yang terjadi di berbagai kawasan internasional.

2. Beberapa Pengalaman Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia
Dapatkah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas aktif tersebut mengalami perubahan? Secara umum seharusnya tidak. Namun, karena politik luar negeri merupakan ”perpanjangan tangan” dari politik dalam negeri perubahan tersebut biasmenjadi mungkin. Pengalaman-pengalaman pada zaman Presiden Sukarno tahun 1960-an, zaman Orde Baru, juga Habibie, Abdurrahman Wahid, serta Megawati ketika memegang pemerintahan adalah sebagai contohnya.

Pada zaman Presiden Sukarno (1945-1965) misalnya, politik luar negeri RI saat itu condong ke negara-negara sosialis. Ingat, saat itu ada istilah ”poros Jakarta Beijing”. Selain itu, hubungan Jakarta-Moskow (Rusia), Beijing (RRC), dan Hanoi (Vietnam) yang merupakan kekuatan penting sosialis (komunis) juga erat. Sebaliknya terhadap negara-negara barat, hubungannya tampak renggang atau bahkan bermusuhan.

Bagaimana dengan politik luar negeri pada zaman Orde Baru? Bagaimana pula dengan pengalaman politik luar negeri pada masa Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati?
Pada zaman Orde Baru politik luar negeri Indonesia justru berbalik total. Politik luar negeri RI menjadi lebih condong kepada negara-negara Barat di bawah Amerika Serikat (AS). Sementara itu politik luar negeri RI pada masa pemerintahan Habibie tidak ada yang menonjol, sebab keadaan pemerintah ketika itu lebih banyak disibukkan oleh berbagai masalah dalam negeri.

Zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, politik luar negeri RI malah tampak berbeda lagi. Ketika itu presiden Wahid berkunjung ke RRC dan AS sekaligus. Terakhir, pada masa pemerintahan Megawati, kebijakan politik luar negeri RI kembali condong kepada negara-negara Barat. Karena itu, meskipun secara umum politik luar negeri RI adalah tetap, akan tetapi, arahnya tergantung kepada kepentingan nasionalnya saat itu.

3. Perkembangan Politik Luar Negeri Dewasa Ini
Bagaimana perkembangan politik dalam era globalisasi dewasa ini? Jawaban atas pertanyaan tersebut antara lain bisa disimak sebagai berikut.

a. Politik Luar Negeri dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999
Undang-undang ini berisi tentang hubungan luar negeri. Dalam hubungannya dengan politik luar negeri, undang-undang ini menyatakan, bahwa ”hubungan luar negeri yang bebas dan aktif diabdikan untuk kepentingan nasional”. Kata ”bebas aktif” merupakan politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan politik netral. Akan tetapi merupakan bentuk politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri pada suatu kekuatan dunia. Selain itu, secara aktif Indonesia juga memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pikiran, maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa, dan permasalahan dunia lainnya, demi terwujudnya perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sedangkan ”diabdikan kepada kepentingan nasional” berarti politik luar negeri yang dilakukan adalah untuk mendukung terwujudnya tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

b. Politik Luar Negeri dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Undang-undang ini memberikan kekuasaan kepada menteri untuk mengambil langkah-langkah dalam membuat serta mengesahkan perjanjian internasional.

c. Politik Luar Negeri dalam GBHN 1999-2004 dan RPJM 2000 - 2004
Pada bagian ”Tujuan dan Sasaran Pembangunan Nasional sebagai amanat GBHN 1999 - 2004” dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2000 - 2004 tentang Politik Luar Negeri dikatakan : ”Terwujudnya politik luar negeri yang berdaulat, bermartabat, bebas dan proaktif bagi kepentingan nasional dalam menghadapi perkembangan global.

d. Politik Luar Negeri dalam RPJP Nasional Tahun 2005-2025
RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) Nasional merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai penjabaran dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk masa 20 tahun ke depan dengan kurun waktu 2005-2025.

BAB III
PENUTUP
KESUMPILAN
Setiap negara pasti memiliki ciri khas tersendiri di dalam menjalankan politik luar negerinya. Politik luar negeri ini juga dapat dipengaruhi oleh pemimpin yang menjabat dalam suatu negara tersebut sehingga dapat membentuk pola yang berbeda-beda. Efektivitas diplomasi dan atau politik luar negeri tidak terlepas dari pergolakan di dalam negeri, sebab politik luar negeri pada dasarnya merupakan refleksi dari kebijakan politik domestik (Mashad 2008 dalam Wuryandari 2008). Jadi, politik luar negri negara juga bergantung terhadap kondisi domestic negara itu. Di samping itu, politik luar negri-pun terkait pula dengan isu-isu yang sedang dialami negara. Setiap isu akan membawa politik luar negeri ke arah yang berbeda-beda. Maka dari itu, adanya perbedaan dalam politik luar negeri dalam setiap kepemimpinan dan isu inilah yang akan dibahas lebih lanjut lagi di dalam tulisan ini terutama pada era reformasi di Indonesia.
            Pada dasarnya kita semua telah mengetahui dengan jelas bahwa Indonesia memiliki politik luar negri yangbersifat bebas dan aktif. Prinsip ini menjadi landasan politik luar negri Indonesia yang akan digunakan secara berkesinambungan. Semestinya politik luar negeri merupakan sebuah grand design yang integratif, berpijak pada analisis lintas sektoral tentang makna kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman eksternal terkait dengan nasionalisme pembangunan Indonesia (Mashad 2008 dalam Wuryandari 2008). Akan tetapi, pada kenyataan yang ada, Indonesia masih belum bisa menghilangkan pengaruh pribadi pemimpinnya terhadap politik luar negri sehingga masih terdapat preferensi individu pemimpin di dalamnya. Menurut Mashad (2008) dalam wuryandari (2008) kebijakan dalam negri Indonesia pasca orde baru sifatnya acak dan tidak memiliki alur panduan yang memadai serta pemerintahan bertahan dalam waktu yang singkat. Hal ini membuat posisi Indonesia menjadi tidak tentu. Bukan saja low profile melainkan lebih cenderung kepada no profile. Pasca orde baru, pemerintah masih kurang memperhatikan adanya korelasi antara politik domestic dengan politik luar negeri. Keadaan ini memang menjadi kelemahan bagi Indonesia di era reformasi.
Rumusan yang ada pada alinea I dan alinea IV Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar hukum yang sangat kuat bagi politik luar negeri RI. Namun dari rumusan tersebut, kita belum mendapatkan gambaran mengenai makna politik luar negeri yang bebas aktif. Karena itu dalam uraian ini akan dikutip beberapa pendapat mengenai pengertian bebas dan aktif. A.W Wijaya merumuskan: Bebas, berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain. Sementara itu Mochtar Kusumaatmaja merumuskan bebas aktif sebagai berikut :  Politik luar negeri adalah strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Dalam arti luas, politik luar negeri adalah pola perilaku yang digunakan oleh suatu Negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Politik luar negeri berhubungan dengan proses pembuatan keputusan untuk mengikuti pilihan jalan tertentu.

DAFTAR ISI
Mashad, Dhurorudin, 2008. ”Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi”, dalam Ganewati Wuryandari (ed.), 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar, hlm. 174-238.
Negara dan Bangsa Jilid Khusus Pasca Komunis. 1989. Grolier International: Incorporated – PT. Widyadara
Ricklefs, MC. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Jogjakarta: Gajah Mada University Press
Sardiman, AM. 1983. Analisis Kemenangan Komunis Vietnam dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Politik di Asia Tenggara. Jogjakarta: Liberty
Suhartono dan Syamsul Rizal. 2007. Sejarah untuk SMA dan MA Kelas XII Program IPS. Jakarta: Widya Utama
Hatta, Mohammad, 1953, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, Tintamas, hlm. 1-31.