Sabtu, 21 November 2015

Refleksi pemilihan serentak 9 Desember.

               ANCAMAN POTENSI KONFLIK DALAM PILKADA SERENTAK

Oleh;Iwan Marwan

Konflik lahir akibat benturan kepentingan diantara individu, dan kelompong yang masing-masing mempunyai hak untuk makan dan mempertahankan hidup. Konflik biasanya bukan lahir atau terjadi begitu saja tampa ada sebab musabah. Namun berbicara konflik politik yang sering kita saksikan bersama disetiap pesta demokrasi politik, terkadang konflik politik itu muncul akibat konspirasi dan setingan aktor politik yang memiliki kepentingan untuk memecah kantong-kantong basis kandidat atau ancaman kekalahan yang dialami setiap kandidat dalam pertarungan kekuasan didaerah. Itu artinya rakyat merupakan objek konflik politik sehingga yang harus kita lakukan sebagai cendekia kampus sebagai hal yang urgen adalah melakukan penyadaran dan mengawal masrakat yang notabennya masih terkategori pada prilaku pemilih irasional.
Kiranya, potensi konflik pada pilkada serentak sangat jauh bagi daerah yang jauh dari dinamika politik identitas yang kuat dan prilaku pemilih yang cerdas. Maka, yang menjadi asumsi dasar saya saat ini adalah rawan konflik hanya akan terjadi disetiap daerah yang kuat politik identitasnya dan prilaku pemilih yang tidak rasional dalam menentukan setiap pemimpin yang tidak berdasarkan informasi dan sumberdaya manusia yang kuat juga masalah serius yang perlu dijadikan sebagai pegangan konflik politik yang sering terjadi, hal ini di lihat dari study kasus pada konflik yang terjadi pada pemilihan gubernur Prov. Maluku Utara di tahun 2007 silam yang telah memberikan dampak isu nasional dan sala satu sengketa pilkada terlama didunia.
Hal diatas adalah catatan demokrasi politik yang buruk akibat dari pada politik identitas, mengapa demikian? Kita harus menggaris bawahi Konflik antara pendukung Taib Armain dan Abdul Gafur sebagai  konflik identitas etnik untuk mempertahankan harga diri masing-masing suku yang ada di Prov. Maluku Utara. Sekalipun konflik tersebut dipicuh oleh kecurangan penyelenggara namun itu hanya menjadi alasan yang tidak begitu spesifik karna ketika konflik berlangsung, seluruh etnik makian yang berada di seluruh pelosok di mobilisasi ke lapangan sengketa yang di istilahkan oleh masrakat ternate sebagai jalur gaza. Itu artinya bahwa yang muncul adalah identitas etnik bukan sekedar ketimpangan yang terjadi pada meja KPU semata. Dengan minimnya pendidikan dan sosialisasi politik pada tingkatan masrakat yang melek huruf dalam istilah politik, dapat berpengaruh terhadap pola pemikiran masrakat untuk berpartisipasi dalam agenda demokrasi politik dengan benar berdasarkan aturan yang menjadi sandaran kita demi terciptanya demokrasi delibery yang tidak melahirkan sengketa.
Saya mengutip perkataan Syafi Ma’arif Pada sala satu kuliah umum dengan tema demokrasi pemilukada pada tahun 2013, beliau mengatakan bahwa, demokrasi kita adalah demokrasi budaya bukan demokrasi peradaban, karna kita berdemokrasi tampa di dukung oleh sumber daya manusia. Akibatnya memicu berbagai konflik ketika demokrasi pemilukada itu berlangsung, karna pengetahuan tentang politik 0,1% sehingga para tim-tim kampanye melakukan sofistikasi politik yang pada ahirnya menjadi benih konflik pemilukada berlangsung.
Peran politik identitas yang hanya merepresentasikan minoritas etnik tertentu akan berakibat pada pembangunan yang tidak merata pula, hal ini akan mengakibatkan kecemburuan sosial pada etnik tertentu yang kuat sehingga akan menjadi benih pemicu konflik pemilukada. Karna yang di pertahankan adalah harga diri etnik tertentu dan nantinya dalam proses pemberdayaan generasi, etnik yang berkuasa  sangat mengutamakan generasinya di banding etnik yang lain.
Kondisi politik identitas yang kemudian berlangsung dalam kurun waktu 2 periode yang di nahkodai oleh Hj.Taib Armain di Prov. Maluku Utara ini kemudian bisa dikatakan sebagai representasi dari etnik makian akibat dari tiap-tiap kepala dinas diberbagai instansi birokrasi pemerintahan adalah berasal dari etnik makian. Hal ini kemudian di lanjutkan oleh etnik Togale ketika kemenanganya Ky Gani Kasuba sebagai gubernur Prov. Maluku Utara.

Untuk bagaimana memainkan politik etnik yang rasional, butuh pendidikan politik yang bukan sekedar menjemput momentum untuk kita berkomunikasi politik demi kepentingan minoritas yang bukan representatif dari masrakat maluku utara. Bibit-bibit yang kemudian di lahirkan oleh UMMU ternate, UNKHAIR ternate, STKIEP ternate, IAIN ternate dll.. tak mampu di tanam akibat dari pada dampak politik etnik yang tidak didukung dengan intelektual yang semestinya menjadi landasan dan pola pikir masrakat dalam berpartisipasi ketika pesta demokrasi akan berlangsung sesuai waktu yang ditentukan oleh penyelenggara.
dan pula perlu peningkatan sumberdaya manusia untuk berdemokrasi sebagai mana kata shafi ma'arif. 

Tidak ada komentar: